Camcorder

Han
7 min readApr 19, 2024

--

01 Maret 2022

Dalam lembutnya temaram, cahaya remang-remang merambat melalui ventilasi kamar, menciptakan pola bayangan menari di dinding. Di tengah gemerlap tersebut, seorang gadis dengan rambut wolfcut kekinian menyandarkan diri dekat jendela. Matanya yang sedikit sayu memancarkan kilauan kasih pada objek yang dipegang eratnya: sebuah camcorder kuno. Jemari lentiknya terus bergerak, mengelus lembut permukaan camcorder tersebut seolah itu adalah harta karun. Camcorder itu, benda berharga dari petualangan musim panas tahun lalu, menyimpan lebih dari sekadar kenangan.

Terlarut dalam kenangan yang memikat, waktu berlalu secepat kilat, hingga akhirnya sang surya meredup dalam gelap malam. Hatinya teriris ketika video yang memperlihatkan manusia favoritnya diputar kembali. Titik-titik hujan yang berubah lebat turut hadir menyumbang lapisan emosinya, seperti aliran sungai yang mengalir deras. Ia sangat merindukan masa-masa itu, semuanya.

07/12

Klip video asing itu berhasil menarik perhatiannya.

“Apa yang aku rekam di tanggal ini ya?”

Tok... Tok... Tok!

Ketukan pintu kamar yang cukup menginterupsi itu memecahkan konsentrasi gadis itu pada klip videonya. “Viona, waktunya makan malam!” panggil wanita paruh baya setelahnya.

“Viona.” Suara ketukan pintu kembali terdengar membuat gadis itu menghela napasnya.

“Sebentar lagi, Bu,” respon Viona.

“Apa kamu sedang sibuk?” tanya ibunya lagi.

“Tidak, Bu. Viona hanya sedikit berberes,” ucap Viona, “nanti segera menyusul.”

“Kalau perlu bantuan, katakan saja. Ibu selalu siap membantu.”

Suara wanita paruh baya itu redup, tenggelam dalam keheningan, digantikan oleh langkah-langkah kaki yang perlahan menjauh dari ambang pintu kamar. Viona kembali mengamati klip video 7/12 memutarnya untuk mengingat. Wajahnya mendekati layar LCD dengan rasa ingin tahu yang membara. Tanpa disadari, jemarinya menari-nari di atas tombol rewind dan play berulang kali, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam klip video tersebut.

Karena terlalu asyik, tombol perekam ikut tersentuh menjadi aktif. Viona merasakan sensasi aneh seperti ditarik oleh suatu aliran energi yang tidak dapat dijelaskan dan masuk ke dalam portal waktu. Ketika membuka mata, Viona tidak lagi berada di kamarnya yang kecil, melainkan di tengah- tengah koridor yang ramai.

04 Desember 2018.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi??” ujar Viona, keheranan yang mendalam terpancar dari intonasi suaranya. Matanya memandang sekeliling dengan penuh kebingungan dan kekaguman.

“Viona.”

Tidak mungkin.

Viona terkejut lalu menutup mulutnya, tidak percaya pada pemandangan yang terbentang di depannya. Seorang lelaki bertubuh tegap dengan senyum menawan itu melangkah mantap dan menghampirinya.

Viona bertanya dengan penasaran, “Hanan, kamu di sini?” Namun, gadis itu justru dihadapkan dengan pertanyaan balik oleh Hanan.

“Kenapa kamu bertanya? Tidak seperti biasanya.”

Viona menjawab asal, “Benarkah? Aku hanya terkejut karena kamu tiba-tiba muncul di sini.” Ia pura-pura sibuk memeriksa camcordernya, sengaja menghindari kontak mata dengan lelaki itu.

“Kamu lupa? Jurusanku tidak memiliki gedung,” pungkas Hanan.

Viona menurunkan camcorder dari pandangannya lalu berpikir sejenak.

Aku berdiri di koridor fakultas ekonomi.

Hanan menepuk lembut bahu gadis itu dan mengakhiri lamunannya dalam sekali sentuh. “Apa ada masalah, Na? Kamu terlihat berbeda.” Hanan khawatir.

“Bukan apa-apa, Hanan,” jawab Viona sambil tersenyum, “bagaimana dengan karya wisata akhir tahun kita?”

Hanan menghela napasnya sebelum bercerita. “Aku sudah mengirimkan surat suara kepada Pak Dekan kemarin. Penelitian kolaborasi berkedok karya wisata akhir tahun itu ternyata memiliki banyak peminat, aku pikir tidak akan ada yang tertarik,” paparnya.

“Kata-katamu sangat serius,” cibir Viona.

“Menurutku karya wisata seperti penelitian di lapangan yang jauh, tapi lebih seru.” Hanan terkekeh setelahnya.

“Bisakah kamu ulangi lagi?” pinta Viona sambil mengarahkan camcordernya kepada lelaki itu.

“Karya wisata itu seperti penelitian di lapangan yang jauh,” ucap Hanan dengan percaya diri.

Seluruh pasang mata yang ada di koridor tanpa terkecuali, menatap fokus mereka berdua sambil berbisik-bisik. Lelaki itu sama sekali tidak peduli dengan suara-suara itu, ia justru meladeni mereka.

“Ya, fakta itu memang pahit. Berusahalah untuk menerimanya.”

“Aku sama sekali tidak keberatan dengan kritik ataupun saran dari kalian. Silahkan, semuanya aku terima,” lanjut Hanan.

“Cukup, Hanan. Ayo kita pergi,” ujar Viona sambil menyikut lengan lelaki itu, “kamu terlalu blak-blakan di sini, mereka mungkin tidak mempedulikannya.”

Viona melenggang pergi dari sana diikuti oleh Hanan yang mengikuti langkahnya di belakang. Suasana di sekitar mereka terasa tegang namun, mereka tetap berjalan dengan rasa percaya diri.

“Aku hanya merespon mereka,” ucap Hanan.

“Tidak perlu.”

“Semua orang bebas untuk beropini.”

“Tapi kita tadi hampir membuat keributan.”

“Aku tahu, ini tidak adil bukan?”

Pertanyaan Hanan membuat langkah Viona terhenti, gadis itu memutarbalik tubuhnya hingga menatap lelaki itu.

“Itu karena kita adalah awardee,” tutur Viona.

Viona kembali menyoroti Hanan dengan camcordernya namun, setiap kali merekam Viona semakin merasa terikat pada masa lalu dan perasaan campur aduk terus mengganggunya, terutama saat bertemu kembali dengan lelaki yang ada di depannya.

“Hanan, apa kamu menyesal?” tanya Viona sambil merekam.

“Tidak, aku hanya sedikit kesal karena kamu selalu pergi begitu saja,” sungut Hanan.

“Maaf. Aku lebih suka menghindari konflik,” kata Viona.

Hanan menggelengkan kepalanya. “Bukan salahmu.”

“Jadi, apa yang membuatmu menyukaiku?” tanya Viona lagi.

“Tidak ada alasan,” jawabnya.

“Ugh, jawabanmu miskin sekali.” Viona menghela napasnya.

“Kamu sudah terlalu banyak mempengaruhiku,” ujar Hanan dengan spontan.

Pemberitahuan kepada seluruh ketua angkatan fakultas ekonomi ~

Mohon segera hadir dan menempatkan diri di auditorium untuk menyaksikan perhitungan suara terkait pemilihan tanggal karya wisata akhir tahun.

Terima kasih atas kerjasamanya, semoga hari kalian menyenangkan!

Pagi-pagi buta sekali, Viona berdiri di depan mading besar yang ada di lobi, membenamkan matanya dalam deretan tulisan dan gambar yang terpampang. Semalam ia menginap di perpustakaan karena tidak mungkin baginya untuk pulang ke rumah. Saat pandangannya menemukan pengumuman tentang penetapan tanggal karya wisata, ekspresi puas menghiasi wajahnya. Kegiatan tersebut tidak dilaksanakan pada tanggal 7, tapi kenapa ia ada di masa lalu jika karya wisatanya pergi lebih awal?

Viona yang menyadari langsung berdecak. “Aku sama sekali tidak ingat dengan klip video itu.”

Viona mengulang-ulang momen yang terekam sebelumnya, mencari petunjuk di setiap detail untuk menyelidiki apa yang mungkin telah memicu perjalanan waktunya. Viona yakin bahwa ada suatu kejadian yang terlewat dan dibicarakan oleh seseorang yang dapat membangkitkan kembali ingatannya pada klip video 7/12.

Tidak ada.

Viona merasa semakin frustrasi karena tidak menemukan petunjuk sama sekali. Ia menyadari bahwa usahanya tidak membuahkan hasil atau mungkin kejadian tersebut muncul secara spontan di alam bawah sadarnya, tanpa ada pemicu eksternal yang jelas. Dengan langkah-langkah terakhirnya, ia mencoba untuk menutup matanya dan bersikap tenang terhadap kemungkinan bahwa beberapa kenangan mungkin sulit diakses dengan cara yang konvensional.

07 Desember 2018.

Viona membuka mata dengan perasaan sakit yang menjalari tubuhnya. Penampilannya berantakan mulai dari rambutnya yang kusut hingga pakaian yang penuh bercak darah.

“Sakit sekali,” rintih Viona dengan suara parau. “Apa sekarang aku ada di tanggal 7?”

Dari kejauhan, samar-samar terdengar beberapa derap langkah cepat dari orang-orang dan suara sirene kendaraan darurat yang mendekat. Selain itu, Viona menyaksikan kepulan asap hitam terus menebal bersamaan dengan lembahang yang menjilat-jilat salah satu bus, merayap dengan rakus seolah ingin melahapnya. Kepanikan luar biasa yang merambat di antara para penumpang dapat dirasakannya.

“Kamu baik-baik saja??” Seorang sukarelawan muncul secara tiba-tiba, menghalangi pandangan Viona dari bus. Ia memeriksa keadaan Viona sambil menawarkan air mineral dengan lembut.

“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja, kakak boleh pergi sekarang,” jawab Viona pelan.

Sukarelawan itu mengangguk mengerti dan bergegas pergi, mencari orang lain yang mungkin darurat membutuhkan pertolongannya. Sedangkan Viona kembali cemas di tempatnya, detak jantungnya semakin cepat. “Tenanglah, Viona,” gumamnya dalam hati, sementara asap hitam masih bergulung-gulung di udara. Viona mencoba mengumpulkan keberanian untuk bangkit dan mendekati lokasi kebakaran, berharap bahwa semua orang telah selamat dari bahaya yang mengancam.

“Satu.. satu,” ucap Viona sambil berusaha membaca nomor bus, “satu.. satu.. tiga.. enam lima.”

Angka itu menggetarkan hatinya, memunculkan rasa ketakutan baru.

Bus karya wisata kami.

Ingatan tentang perjalanan bahagia dengan mereka melintas di pikirannya. Senyum dan tawa riang mereka seakan-akan masih terasa di udara yang terbakar, kontras sekali dengan situasi yang ada di hadapannya sekarang. Viona terus mendekat ke sana dengan penuh tekad, wajahnya merona merah karena air mata yang mengalir tanpa henti. Kemudian gadis itu tersungkur jatuh membentur aspal setelah tersandung oleh benda hitam misterius. Matanya menatap benda itu, camcorder miliknya.

Hanan.

Dengan napas tersengal, Viona memungut camcordernya lalu bangkit kembali dengan perasaan kesal dan kecewa. Lututnya yang tergores tidak sebanding dengan situasi ngeri yang menimpa teman-temannya. Viona mengangkat camcordernya dan menyoroti setiap objek. “Di mana aku?” tanyanya. Tidak kunjung terlihat, Viona melepaskan camcordernya. Benda hitam itu terjatuh dari genggaman tangannya dan bergulir beberapa langkah di depannya sebelum berhenti, rekamannya masih menyala.

“Apa aku mengacaukan waktu lagi? Meskipun begitu, takdir yang ini tetap tidak bisa diubah.” Viona menunduk dalam.

“Aku ingin pulang saja.”

Sekelilingnya memudar, meninggalkan warna hitam yang gelap. Memori asing berdatangan, seperti pita rekaman. Tahun demi tahun, video itu berlangsung dengan cepat menayangkan waktu-waktu yang berlalu termasuk bus karya wisata yang menabrak pembatas jalan dengan begitu kerasnya dan menimbulkan percikan api. Gadis itu menyaksikan Hanan dan teman-temannya yang panik histeris berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara. Viona melihat dirinya sendiri sudah terluka dan bersandar di tempat aman, jauh dari bahaya. Namun, tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba saja, keberaniannya mendorongnya kembali berlari dan masuk ke dalam bus yang terbakar itu. Dan saat itu juga, ledakan dahsyat mengguncang seluruh keberadaannya, membawa kembali semua momen tragis itu ke dalam kesadarannya yang terpatahkan.

Too far away, you’re gone

I know I have to know~

14 September 2024

Seorang lelaki mengenakan setelan jas yang rapi dengan cincin melingkar di jari manisnya, berjalan tenang di sepanjang koridor sambil membawa bunga lavender. Orang-orang di sekelilingnya terlihat duduk dengan ekspresi gelisah, sementara para tenaga medis terlihat sibuk bergerak cepat, menciptakan ritme yang khas pada lantai rumah sakit.

Setelah menemukan kamar yang dicarinya, lelaki itu dengan hati-hati mengetuk pintu dan mengambil napas dalam-dalam. Merasa sudah siap, ia membuka pintu dengan perlahan, penuh antusiasme untuk melihat siapa yang menantinya di dalam.

Lelaki itu tersenyum sebagai balasan singkat atas sapaan ramah sang perawat yang bertugas lalu berjalan menuju brankar dekat jendela. Ia melihat seorang gadis berambut panjang lengkap dengan piyama sedang duduk di pinggir brankar sambil memegang cermin, memperhatikan bayangan dirinya yang terpantul di sana. Pemandangan itu sungguh memberikan kesan kedamaian dan haru di tengah situasi yang penuh kegelisahan di rumah sakit ini.

“Terkadang hal-hal terjadi di luar kendali kita,” ucap gadis itu pelan, senyumnya merekah.

Ia melanjutkan dengan lembut, “Mungkin ini sudah terlambat, tapi aku tetap akan mengucapkannya untukmu. Jadi, selamat atas pernikahannya, Hanan.”

*Cerita ini juga dimuat dalam website Gramedia Writing Project.

--

--

Han

Hanya perempuan biasa yang ingin mengukir sejarahnya.